LAKI-LAKI DAN PENGHAPUSAN
KDRT
Oleh.
Adi Nange & Paul SinlaEloE
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), merupakan
bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia, kejahatan terhadap kemanusiaan dan
juga merupakan tindakan diskriminasi. Oleh karena itu, KDRT harus dihapuskan.
Dengan maksud itulah, para pengambil kebijakan membentuk UU No. 23 Tahun 2004,
Tentang Penghapusan KDRT.
Dalam Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2004, disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan KDRT adalah Setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan ataupun penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman
untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara
melawan hukum dalam Rumah Tangga.
Lingkup rumah tangga yang dimaksud dalam UU No. 23
Tahun 2004 meliputi: Suami, Istri dan Anak, Orang-orang yang mempunyai hubungan
keluarga dengan Suami, Istri dan Anak karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam Rumah Tangga dan atau
orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga
tersebut. Artinya, orang yang bekerja membantu rumah tangga akan dipandang
sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga
yang bersangkutan.
Sedangkan bentuk kekrasan yang dilarang adalah: Pertama, Kekerasan Fisik. Perbuatan yang ditujukan
terhadap fisik seseorang yang mengakibatkan rasa sakit, atau luka berat. Kedua, Kekerasan Psikis. Perbuatan yang mengakibatkan
hilangnya rasa percaya diri, kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya atau
penderitaan psikis berat. Ketiga, Kekerasan
Seksual. Berbagai bentuk manipulasi, eksploitasi maupun pemaksaan untuk
melakukan tindakan seksual hanya demi pemuasan pelaku, tanpa memperhatikan
dampaknya pada korban. Keempat, Penelantaran.
Tidak memberikan nafkah, membatasi/melarang untuk bekerja sehingga korban
berada di bawah kendalinya. (Pasal 5 s/d Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004).
Walaupun UU No. 23 Tahun 2004, Tentang Penghapusan
KDRT ini telah diundangkan dalam LN-RI Tahun 2004 No. 95, Tambahan LN-RI No.
4419, pada tanggal 22 September 2004, namun hingga kini kasus KDRT masih terus
terjadi dan semakin menjadi-jadi. Pada konteks Nusa Tenggara Timur (NTT), Kasus
KDRT bukan saja terjadi pada kalangan rakyat, tetapi dilakukan juga oleh mereka
yang menjabat/menduduki jabatan-jabatan penting pada setiap level pemerintahan
yang ada di “Bumi Flobamora” ini.
Catatan Akhir Tahun PIAR NTT berkaitan dengan
Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM sepanjang tahun 2009 di NTT, menunjukan
bahwa di NTT telah terjadi 385 peristiwa/kasus tindak kekerasan dan Pelanggaran
HAM yang memakan korban sebanyak 3.677 orang. Catatan Akhir Tahun PIAR NTT
berkaitan dengan Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM sepanjang tahun 2009,
juga membuktikan bahwa kasus KDRT di NTT menempati peringkat kedua dengan
jumlah kasus sebanyak 57 kasus. Sedangkan yang menjadi korban dalam kasus KDRT
sebanyak 59 orang. (NB: Keseluruhan kasus KDRT sepanjang tahun 2009 di NTT yang
dimuat dalam Catatan Akhir Tahun PIAR NTT, hanya merupakan kasus yang diadvokasi
oleh PIAR NTT).
Data Pendampingan RUMAH PEREMPUAN sejak tahun
2006-2009, juga menunjukan bahwa kasus KDRT selalu menempati ranking teratas
dari berbagai jenis kasus kekerasan lain yang dialami oleh perempuan dan Anak.
Pada tahun 2006, RUMAH PEREMPUAN mendampingi 190 kasus yang mana 73 kasusnya
adalah kasus KDRT. RUMAH PEREMPUAN di tahun 2007, mendata 95 kasus KDRT dari
178 kasus yang didampinginya. Untuk tahun 2008, terdapat 98 kasus KDRT dari 177
total kasus yang didampingi oleh RUMAH PEREMPUAN. Sedangkan untuk tahun 2009,
RUMAH PEREMPUAN mendampingi 191 kasus yang mana 100 diantaranya adalah kasus
KDRT.
Berdasarkan pengalaman pendampingan RUMAH PEREMPUAN
dan PIAR NTT, ditemukan bahwa terjadinya kasus KDRT di NTT, kebanyakan dipicu
oleh Budaya Patriarkhi yakni budaya yang memberi pembenaran terhadap penguasaan
atau superioritas laki-laki atas perempuan. Budaya Patriarkhi yang merupakan
hegemoni laki-laki atas perempuan ini terlegitimasi dalam nilai, norma sosial
di masyarakat.
Menurut Koordinator RUMAH PEREMPUAN, Libby
SinlaEloE (2009), ciri-ciri dari budaya patriarkhi yang nampak dalam kehidupan
bermasyarakat di NTT, adalah: Pertama,
Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak
laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran. Kedua,
Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Ketiga, Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam
rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah
sosial.
Keempat, Pemahaman
yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan
istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa
laki-laki boleh menguasai perempuan. Kelima,
tradisi bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi. Keenam, Kepribadian dan kondisi psikologis suami dan
anak yang tidak stabil. Ketujuh, tradisi bahwa
laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.
PIAR NTT dan RUMAH PEREMPUAN dalam kerja-kerja
pendampingannya mendata berbagai dampak dari kasus KDRT yang dialami oleh korban.
Pertama, DAMPAK FISIK: Dampak kekerasan terhadap
fisik korban seperti lebam, lecet, patah tulang, kepala bocor, pusing, dll. Kedua, DAMPAK PHSIKIS: Dampak phsikis dari
seksualitas korban takut berhubungan seks, hilangnya keinginan untuk
berhubungan seks, trauma, gangguan kejiwaan dll. Semua korban KDRT juga
mengalami gangguan psikis seperti cemas, gelisah, malu, rendah diri, keinginan
untuk bercerai, gangguan ingatan.
Ketiga, DAMPAK TERHADAP
KESEHATAN KORBAN: Dampak terhadap kesehatan korban seperti terganggunya
organ reproduksi, mengalami pendarahan, terjadi kehamilan yang tidak diinginkan
(NB: Khusuanya Kasus Incest). Keempat, DAMPAK EKONOMI:
Dililit utang, karena harus meminjam uang keorang lain untuk membiayai hidup. Kelima, DAMPAK SOSIAL: biasanya korban akan menarik
diri dari pergaulan dan keluarga, tetangga, bahkan untuk sementara waktu ada
juga korban yang berhenti melakukan akstivitas sosial maupun ritual keagamaan.
Untuk mengatasi persoalan KDRT ini, maka salah satu
solusinya adalah Pelibatan Laki-Laki Dalam Penghapusan KDRT. Mengapa laki-laki
harus terlibat dan dilibatkan..?? Sesuai dengn pengalaman pendampingan dari
PIAR NTT dan RUMAH PEREMPUAN terhadap korban kasus KDRT, pelibatan laki-laki
dalam penghapusan KDRT sangat penting karena persoalan KDRT adalah persoalan
laki-laki dan perempuan. Selain itu, data yang ada menjukan bahwa pelaku KDRT
terbanyak adalah kelompok laki-laki. Pengalaman pendampingan dari PIAR NTT dan
RUMAH PEREMPUAN juga membuktikan bahwa lebih sering laki-laki pelaku KDRT di
hukum, tapi tidak menjamin adanya perubahan perilaku. Wujud konkrit dari
pelibatan dan keterlibatan laki-laki dalam upaya penghapusan KDRT diantaranya
melakukan kampanye anti KDRT, menjadi konselor dan mengikuti/terlibat dalam
program konseling.
Pada akhirnya, dengan pelibatan dan keterlibatan
laki-laki dalam upaya-upaya penghapusan KDRT ini diharapkan dapat: Pertama, Meningkatkan pemahaman kelompok laki-laki
sehingga dapat menjadi pribadi yang Sensitive Gender. Kedua,
Kaum laki-laki memiliki komitmen untuk Tidak Melakukan KDRT. Ketiga, Mengubah pola penanganan KDRT yang terfokus
pada pendampingan korban, sedangkan pelaku terabaikan dari sisi konseling dan
hanya diancam oleh hukum formal, seperti sanksi kurungan dan atau denda saja.
LAKI-LAKI AKAN MENJADI TERHORMAT, JIKA TIDAK MELAKUKAN KDRT...!!! (Tulisan ini
pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi TIMOR EXPRESS, tanggal 22 Maret 2010).
-----------------------
Penulis:
Aktivis PIAR NTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar