ADI - IRENE - GIAN - GIBRAL

Senin, 15 Oktober 2012

PENGHAPUSAN KDRT



LAKI-LAKI DAN PENGHAPUSAN KDRT
Oleh. Adi Nange & Paul SinlaEloE


Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), merupakan bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia, kejahatan terhadap kemanusiaan dan juga merupakan tindakan diskriminasi. Oleh karena itu, KDRT harus dihapuskan. Dengan maksud itulah, para pengambil kebijakan membentuk UU No. 23 Tahun 2004, Tentang Penghapusan KDRT.

Dalam Pasal 1 UU No. 23 Tahun 2004, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan KDRT adalah Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan ataupun penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam Rumah Tangga.

Lingkup rumah tangga yang dimaksud dalam UU No. 23 Tahun 2004 meliputi: Suami, Istri dan Anak, Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan Suami, Istri dan Anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam Rumah Tangga dan atau orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Artinya, orang yang bekerja membantu rumah tangga akan dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.

Sedangkan bentuk kekrasan yang dilarang adalah: Pertama, Kekerasan Fisik. Perbuatan yang ditujukan terhadap fisik seseorang yang mengakibatkan rasa sakit, atau luka berat. Kedua, Kekerasan Psikis. Perbuatan yang mengakibatkan hilangnya rasa percaya diri, kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya atau penderitaan psikis berat. Ketiga, Kekerasan Seksual. Berbagai bentuk manipulasi, eksploitasi maupun pemaksaan untuk melakukan tindakan seksual hanya demi pemuasan pelaku, tanpa memperhatikan dampaknya pada korban. Keempat, Penelantaran. Tidak memberikan nafkah, membatasi/melarang untuk bekerja sehingga korban berada di bawah kendalinya. (Pasal 5 s/d Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004).

Walaupun UU No. 23 Tahun 2004, Tentang Penghapusan KDRT ini telah diundangkan dalam LN-RI Tahun 2004 No. 95, Tambahan LN-RI No. 4419, pada tanggal 22 September 2004, namun hingga kini kasus KDRT masih terus terjadi dan semakin menjadi-jadi. Pada konteks Nusa Tenggara Timur (NTT), Kasus KDRT bukan saja terjadi pada kalangan rakyat, tetapi dilakukan juga oleh mereka yang menjabat/menduduki jabatan-jabatan penting pada setiap level pemerintahan yang ada di “Bumi Flobamora” ini.

Catatan Akhir Tahun PIAR NTT berkaitan dengan Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM sepanjang tahun 2009 di NTT, menunjukan bahwa di NTT telah terjadi 385 peristiwa/kasus tindak kekerasan dan Pelanggaran HAM yang memakan korban sebanyak 3.677 orang. Catatan Akhir Tahun PIAR NTT berkaitan dengan Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM sepanjang tahun 2009, juga membuktikan bahwa kasus KDRT di NTT menempati peringkat kedua dengan jumlah kasus sebanyak 57 kasus. Sedangkan yang menjadi korban dalam kasus KDRT sebanyak 59 orang. (NB: Keseluruhan kasus KDRT sepanjang tahun 2009 di NTT yang dimuat dalam Catatan Akhir Tahun PIAR NTT, hanya merupakan kasus yang diadvokasi oleh PIAR NTT).

Data Pendampingan RUMAH PEREMPUAN sejak tahun 2006-2009, juga menunjukan bahwa kasus KDRT selalu menempati ranking teratas dari berbagai jenis kasus kekerasan lain yang dialami oleh perempuan dan Anak. Pada tahun 2006, RUMAH PEREMPUAN mendampingi 190 kasus yang mana 73 kasusnya adalah kasus KDRT. RUMAH PEREMPUAN di tahun 2007, mendata 95 kasus KDRT dari 178 kasus yang didampinginya. Untuk tahun 2008, terdapat 98 kasus KDRT dari 177 total kasus yang didampingi oleh RUMAH PEREMPUAN. Sedangkan untuk tahun 2009, RUMAH PEREMPUAN mendampingi 191 kasus yang mana 100 diantaranya adalah kasus KDRT.

Berdasarkan pengalaman pendampingan RUMAH PEREMPUAN dan PIAR NTT, ditemukan bahwa terjadinya kasus KDRT di NTT, kebanyakan dipicu oleh Budaya Patriarkhi yakni budaya yang memberi pembenaran terhadap penguasaan atau superioritas laki-laki atas perempuan. Budaya Patriarkhi yang merupakan hegemoni laki-laki atas perempuan ini terlegitimasi dalam nilai, norma sosial di masyarakat.

Menurut Koordinator RUMAH PEREMPUAN, Libby SinlaEloE (2009), ciri-ciri dari budaya patriarkhi yang nampak dalam kehidupan bermasyarakat di NTT, adalah: Pertama, Masyarakat membesarkan anak laki-laki dengan menumbuhkan keyakinan bahwa anak laki-laki harus kuat, berani dan tidak toleran. Kedua, Laki-laki dan perempuan tidak diposisikan setara dalam masyarakat. Ketiga, Persepsi mengenai kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga harus ditutup karena merupakan masalah keluarga dan bukan masalah sosial.

Keempat, Pemahaman yang keliru terhadap ajaran agama mengenai aturan mendidik istri, kepatuhan istri pada suami, penghormatan posisi suami sehingga terjadi persepsi bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan. Kelima, tradisi bahwa istri bergantung pada suami, khususnya ekonomi. Keenam, Kepribadian dan kondisi psikologis suami dan anak yang tidak stabil. Ketujuh, tradisi bahwa laki-laki dianggap superior dan perempuan inferior.

PIAR NTT dan RUMAH PEREMPUAN dalam kerja-kerja pendampingannya mendata berbagai dampak dari kasus KDRT yang dialami oleh korban. Pertama, DAMPAK FISIK: Dampak kekerasan terhadap fisik korban seperti lebam, lecet, patah tulang, kepala bocor, pusing, dll. Kedua, DAMPAK PHSIKIS: Dampak phsikis dari seksualitas korban takut berhubungan seks, hilangnya keinginan untuk berhubungan seks, trauma, gangguan kejiwaan dll. Semua korban KDRT juga mengalami gangguan psikis seperti cemas, gelisah, malu, rendah diri, keinginan untuk bercerai, gangguan ingatan.

Ketiga, DAMPAK TERHADAP KESEHATAN KORBAN: Dampak terhadap kesehatan korban seperti terganggunya organ reproduksi, mengalami pendarahan, terjadi kehamilan yang tidak diinginkan (NB: Khusuanya Kasus Incest). Keempat, DAMPAK EKONOMI: Dililit utang, karena harus meminjam uang keorang lain untuk membiayai hidup. Kelima, DAMPAK SOSIAL: biasanya korban akan menarik diri dari pergaulan dan keluarga, tetangga, bahkan untuk sementara waktu ada juga korban yang berhenti melakukan akstivitas sosial maupun ritual keagamaan.

Untuk mengatasi persoalan KDRT ini, maka salah satu solusinya adalah Pelibatan Laki-Laki Dalam Penghapusan KDRT. Mengapa laki-laki harus terlibat dan dilibatkan..?? Sesuai dengn pengalaman pendampingan dari PIAR NTT dan RUMAH PEREMPUAN terhadap korban kasus KDRT, pelibatan laki-laki dalam penghapusan KDRT sangat penting karena persoalan KDRT adalah persoalan laki-laki dan perempuan. Selain itu, data yang ada menjukan bahwa pelaku KDRT terbanyak adalah kelompok laki-laki. Pengalaman pendampingan dari PIAR NTT dan RUMAH PEREMPUAN juga membuktikan bahwa lebih sering laki-laki pelaku KDRT di hukum, tapi tidak menjamin adanya perubahan perilaku. Wujud konkrit dari pelibatan dan keterlibatan laki-laki dalam upaya penghapusan KDRT diantaranya melakukan kampanye anti KDRT, menjadi konselor dan mengikuti/terlibat dalam program konseling.

Pada akhirnya, dengan pelibatan dan keterlibatan laki-laki dalam upaya-upaya penghapusan KDRT ini diharapkan dapat: Pertama, Meningkatkan pemahaman kelompok laki-laki sehingga dapat menjadi pribadi yang Sensitive Gender. Kedua, Kaum laki-laki memiliki komitmen untuk Tidak Melakukan KDRT. Ketiga, Mengubah pola penanganan KDRT yang terfokus pada pendampingan korban, sedangkan pelaku terabaikan dari sisi konseling dan hanya diancam oleh hukum formal, seperti sanksi kurungan dan atau denda saja. LAKI-LAKI AKAN MENJADI TERHORMAT, JIKA TIDAK MELAKUKAN KDRT...!!! (Tulisan ini pernah dipublikasikan dalam Harian Pagi TIMOR EXPRESS, tanggal 22 Maret 2010).


-----------------------
Penulis: Aktivis PIAR NTT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TRANLATE:


Kamus Orisinil:


Twitter Facebook Delicious Google Delicious Stumbleupon Delicious Technorati Reddit GoogleBuzz Buzz Myspace yahoo Favorites More

Berlangganan Artikel

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner