ADI - IRENE - GIAN - GIBRAL

Selasa, 23 Oktober 2012

Jejak Langkah Perumusan RPJMDes Di Nekamese


Jejak Langkah Perumusan RPJMDes Di Nekamese
Oleh : Adi Nange*


Catatan Pembuka
Banyak regulasi yang telah dibuat oleh pemerintah untuk mendorong partisipasi masyarakat dan membuka ruang publik untuk terlibat aktif dalam berbagai proses perencanaan, implementasi maupun pengawasan pembangunan. Partisipasi masyarakat diharapkan terjadi pada semua level pemerintahan, baik itu di pusat, provinsi, kabupaten/kota maupun sampai pada level desa. Keterlibatan masyarakat maupun stakeholders dalam proses perencanaan menjadi hal penting untuk menemukan puncak partisipasi aktif.
Sebagaimana Undang – undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan pengganti Undang – undang Nomor 22 Tahun 1999, Desa atau yang disebut dengan nama lain yang selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas – batas wilayah yuridis, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal – usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/ atau dibentuk dalam sistem Pemerintah Nasional dan berada di Kabupaten/Kota, sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam kerangka perencanaan di tingkat desa, tentu akan mempertimbangkan tentang keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Begitu pula pada PP 72 tahun 2005 tentang Desa telah memberi penegasan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di desa maka perlu dilakukan perencanaan pembangunan desa yang tetap memperhatikan proses perencanaan di tingkat kabupaten/kota. Perencanaan pembangunan desa juga harus mempertimbangkan partisipasi serta kewenangan yang dimiliki oleh desa. Sebagai wujud dari perencanaan pembangunan desa maka akan dibuat dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) serta dokumen Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes).
Perumusan dokumen RPJMDes dan RKPDes inilah yang akan menjadi fokus dalam tulisan ini. Dimana akan disampaikan tetang pengalaman        pendampingan perumusan dokumen RPJMDes dan RKPDes di Desa Bone dan Desa Taloitan, Kecamatan Nekamese Kabupaten Kupang. Kedua desa ini merupakan bagian dari wilayah dampingan (advokasi) PIAR NTT dan juga merupakan Mitra Langsung PIAR NTT dalam kerja sama dengan Access Timor untuk mendorong Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis di wilayah Timor. 

Sinkronisasi Konsep
Awal melaksanakan kegiatan pendampingan perumusan RPJMDes, dirasa sangat mudah dan membutuhkan waktu yang singkat karena sudah ada petunjuk teknis yang akan menjadi penunjuk arah. Namun ketika datang ke desa dan memulai kerja-kerja awal pengumpulan data, ternyata masih belum ada kesamaan konsep dan pandangan untuk menyusun RPJMDes. Dengan begitu maka membutuhkan waktu semakin lama, karena bukan sekedar datang dan mengisi berbagai format dalam Juknis tetapi masih harus membangun kesamaan pemahaman.
Perbedaan konsep terkait dengan dokumen RPJMDes ini sering terjadi pada konsep siapa yang bertanggung jawab merumuskan dokumen RPJMDes, apa pentingnya dokumen ini bagi desa, bahkan ada pandangan dari aparat desa bahwa dokumen ini merupakan pekerjaan tambahan yang tidak memiliki makna. Latar pikir dari para aparat desa adalah sudah cukup dengan dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), karena dokumen itu sudah mengakomodir anggaran dan program maupun kegiatan yang dilaksanakan di desa. RPJMDes dan RKPDes dilihat sebagai dokumen yang memberatkan.
Berbagai latara pikir yang ditemukan di desa, mulai pelan-pelan didiskusikan dengan aparat desa serta tim perumus RPJMDes (Tim 11). Dari diskusi rutin yang dilakukan, maka cukup membuahkan hasil, dimana para aparat desa dan Tim 11 mulai merasa bahwa dokumen RPJMDes dan RKPDes bukanlan sebuah dokumen yang memberatkan namun dokumen yang menggambarkan kondisi desa serta proyeksi desa untuk lima tahun ke depan. Dengan dokumen ini, desa akan terarah dalam menentukan arah kebijakan maupun strategi untuk menjawab berbagai masalah maupun untuk pengembangan potensi desa.
Walau begitu, tetapi beda konsep masih terjadi pada konsep, siapa yang bertanggung jawab untuk mengurus dan merumuskan kedua dokumen itu. Aparat pemerintah desa merasa bahwa itu adalah tugas Tim 11. Sedangkan Tim 11 merasa bahwa itu adalah tugas dari Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa (KPMD) yang sudah mendapat dampingan dari Fasilitator Kecamatan PNPM-MP.
PIAR NTT terus mengambil bagian dalam berbagai diskusi di level desa untuk merumuskan dokumen RPJMDes dan RKPDes. Sehingga sampai juga pada pembahasan tentang siapa yang bertanggung jawab dalam perumusan dokumen tersebut. PIAR NTT coba memberikan pejelasan berdasarkan Permendagri 66 tahun 2007 tentang Perncanaan Pembangunan Desa dan juga mengacu pada Surat Edaran Mendagri No 414.2/1408/PMD yang menjelaskan secara teknis proses perumusan RPJMDes. Kepada aparat desa dan juga Tim 11, dijelaskan bahwa proses perumusan dokumen RPJMDes ada pada tanggung jawab Tim 11 yang mana tim ini difasilitasi oleh KPMD. Namun, bukan berarti pemerintah desa tidak berperan karena Kepala Desa dan sekretaris desa adalah ketua dan sekretaris dari Tim 11. Bahkan, basis data utama dalam dokumen ini bersumber dari data profil desa yang mana sekian lama dikelola oleh sekretaris desa.
Dari berbagai diskusi yang dilakukan maka semakin muncul pemahaman di desa bahwa dokumen RPJMDes dan RKPDes bukan sebuah dokumen tambahan yang memberatkan. Namun merupakan dokumen induk yang penting dan menjadi acuan utama ketikan akan menyusun APBDes.
Sinkronisasi konsep ternyata membutuhkan waktu yang cukup lama. Berbagai diskusi dilakukan dan ternyata sangat bermanfaat ketika akan ditentukan langkah-langkah berikut untuk perumusan dokumen RPJMDes dan RKPDes. Ketika konsep berpikir sudah sama maka berbagai aktifitas perumusan lebih difokuskan pada pemetaan masalah dan potensi serta matriks-matriks lain yang menggambarkan program maupun strategi di level desa.

Harmonisasi Langkah
Semenjak adanya kerjasama program antara PIAR NTT dengan Access Timor untuk mendorong Tata Kepemerintahan Lokal yang Demokratis di wilayah Timor pada September 2010 maka berbagai langkah telah disiapkan. Mulai dari sosialisasi program sampai pada langkah-langkah teknis pendampingan maupun peningkatan kapasitas kepada aparat pemerintahan desa dan fasilitator desa (Fasdes) atau Community Organizer (CO).
Pada saat PIAR NTT melakukan sosialisasi program di bulan Oktober 2010, proses perumusan RPJMDes sudah sementara berjalan dengan difasilitasi oleh para Fasilitator Kecamatan PNPM-MP. Tim 11 sebagai ujung tombak perumusan RPJMDes dan RKPDes telah dibentuk dan diberi pelatihan sehari oleh Fasilitator Kecamatan PNPM-MP. Tim ini pun telah melakukan tahap awal perumusan kedua dokumen dengan penggalian gagasan (Pagas) di tingkat dusun. Artinya bahwa ketika PIAR NTT mendampingi aparat pemerintahan desa dan Fasdes/CO maka proses perumusan RPJMDes dan RKPDes sementara berjalan. Dengan begitu maka perlu dilakukan harmonisasi langkah atau aktifitas di level desa maupun di tingkat kecamatan.
Dalam koordinasi dengan pihak PNPM-MP Kabupaten Kupang, diperoleh informasi bahwa batas perumusan RPJMDes tanggal 15 desember 2010. Maka langkah awal yang dialakukan adalah melakukan identifikasi kebutuhan dan kekurangan di tingkat desa berkaitan dengan perumusan kedua dokumen itu. Ternyata hasil yang diperoleh adalah Tim 11 hanya mampu membuat Pagas dan untuk melanjutkan pada dokumen narasi maupun pengisian matrik lampiran dialami kendala sehingga pihak desa belum bisa menyelesaikan dokumen sesuai dengan batas waktu yang ditentukan.
Memasuki Januari 2011, PIAR NTT menginisiasi pertemuan dengan PNPM-MP pada tingkat kecamatan Nekamese untuk membahas perumusan RPJMDes dan RPKDes. Hasil pertemuan PIAR NTT akan mendampingi 2 (dua) desa yaitu Desa Bone dan Desa Taloitan. Sedangkan 9 (sembilan) desa lainnya ada dalam dampingan PNPM-MP tingkat kecamatan. Dari kordinasi inipun diperoleh informasi bahwa batas waktu perumusan kedua dokumen diperpanjang hingga 31 Maret 2011.
Mengingat batas waktu yang semakin dekat, PIAR terus melakukan koordinasi dengan berbagai pihak guna mempercepat penyelesaian dokumen RPJMDes yang salah satunya melakukan koordinasi dengan Camat Nekamese, Jupiter Na’u,SH Hasilnya, Camat kemudian memimpin pertemuan multistakeholder untuk menetapkan langkah bersama dalam perumusan RPJMDes dan RKPDes.
Salah satu rekomendasi penting dari multistakeholders forum adalah dibentuknya Tim Bersama yang bertugas untuk mempercepat proses perumusan RPJMDes dan RKPDes di Kecamatan Nekamese. Tim ini terdiri dari unsur Pemerintah Kecamatan, PNPM-MP, LSM (PIAR NTT dan Increase) dan terbagi merata di seluruh desa. PIAR NTT, selain mendampingi Desa Bone dan Taloitan (bagian dari kerja sama dengan Access Timor), mendapat tambahan lagi untuk mendampingi Desa Oepaha dan Desa Tasikona.
Harmonisasi langkah untuk merumuskan dokumen RPJMDes dan RKPDes ini sangat berhasil. Dimana perumusan dokumen ini sudah menjadi tanggung jawab bersama dan untuk tingkat kecamatan selalu terjadi tukar informasi antar desa.

Catatan Kritis
Semenjak dilakukan pendampingan perumusan RPJMDes dan RKPDes di Nekamese, ditemukan sejumlah hal penting yang masih perlu untuk didiskusi secara mendalam oleh berbagai pihak. Pertama; RPJMDes adalah dokumen perencanaan dan bukan dokumen penganggaran, namun dalam kenyataaanya RPJMDes juga memuat soal pembiayaan. Hal ini dirasa janggal karena penganggaran yang disebut dalam RPJMDes untuk lima tahun, sedangkan terkait dengan penganggaran akan selalu mengalami perubahan. Bahkan daftar harga untuk pembangunan teknis/fisik yang biasa dikeluarkan oleh Dinas PU selalu berubah setiap tahunnya. Kedua;Kepala Desa akan memberi pertanggung jawaban atas sesuatu yang tidak pasti. Ini karena RPJMDes diperkuat secara hukum dengan Peraturan Desa (Perdes), sehingga akan berdampak pada mekanisme pertanggungjawaban. Dimana Kepala Desa harus mempertanggungjawabkan semua usulan penganggaran dalam dokumen RPJMDes yang belum tentu akan sesuai dengan kondisi riil. Ketiga;Penentuan batas waktu dalam perumusan RPJMDes dan RKPDes membuat keterlibatan perempuan maupun kelompok lainnya tidak maksimal. Ini terlihat jelas karena perumusan dokumen ini terasa dikejar waktu sehingga ketika mendekati batas waktu maka proses perumusan hanya melibatkan unsur-unsur utama dalam pemerintahan desa. Keterlibatan perempuan atau kelompok lainnya hanya pada awal-awal perumusan. Keempat; Dokumen RPJMDes merupakan penjabaran yang tidak terlepas dari RPJMD Kabupaten/Kota, namun rentang waktu penyusunannya berbeda sehingga akan mengganggu proses pencapaiannya. Kelima; Penyusunan dokumen RPJMDes saat ini tidak sesuai dengan masa jabatan kepala desa, sehingga akan berdampak pada upaya pencapaian yang dilakukan oleh kepala desa.

Catatan Penutup
Keterbukaan dari Pemerintah Kecamatan Nekamese untuk menerima keterlibatan stakeholders dalam perumusan RPJMDes dan RKPDes merupakan salah satu kemajuan dan keberhasilan dan proses demokrasi. Bahkan apa yang dilakukan oleh pemerintah kecamatan ini menyebabkan stakeholder (salah satunya PIAR NTT) merasa bertanggung jawab penuh untuk mendampingi aparat pemerintah desa untuk menyelesaikan kedua dokumen itu.
Sebagai penutup, perlu diinformasikan bahwa sampai dengan tulisan ini di buat pada Minggu Pertama Agustus 2011, posisi dokumen RPJMDes dan RKPDes dari desa Bone dan Taloitan sudah selesai dikonsultasikan ditingkat Kabupaten Kupang berkaitan dengan materi. Selanjutnya saat ini sementara dilakukan konsultasi dan asistensi di Bagian Hukum Setda Kabupaten Kupang untuk penomoran Peraturan Desa tentang Dokumen RPJMDes. Sehingga untuk posisi saat ini, Kecamatan Nekamese telah menyelesaikan sampai di tingkat kabupaten sebanyak 3 (tiga) desa, yaitu Desa Tasikona, Desa Bone dan Desa Taloitan.
Informasi yang diperoleh di tingkat kabupeten bahwa dokumen RPJMDes dan RKPDes yang sudah selesai konsultasi di kabupaten barulah ketiga desa tersebut. Artinya bahwa sinkronisasi konsep dan harmonisasi langkah yang dilakukan bukan saja keberhasilan di level desa, tetapi juga keberhasilan di tingkat kecamatan. Walaupun memang masih tertinggal 8 (delapan) desa, namun sebagai stakeholders di tingkat kecamatan, kita yakin akan menyelesaikannya karena telah ditentukan langkah dan agenda bersama.

*Staf Lapangan PIAR NTT
di Desa Bone dan Taloitan
Kecamatan Nekamese
Kabupaten Kupang



SANG INDUK DIRUNDUNG SOAL


SANG INDUK DIRUNDUNG SOAL
(Catatan Ringan Terkait Persoalan Kab. Kupang)
Oleh : Adi Nange - Pegiat NGO

Masih jelas dalam ingatan kita, persoalan pencabutan SK Bupati Kupang untuk perpanjangan masa kerja bagi beberapa pejabat di lingkup Kabupaten Kupang yang sangat mengejutkan, kita dikagetkan lagi dengan pemberitaan media massa lokal di NTT yang banyak menyoroti persoalan mutasi atau perpindahan 170 Pegawai Negeri Sipil (PNS) di wilayah Pemerintah Daerah Kabupaten Kupang ke kabupaten yang baru dimekarkan, Kabupaten Sabu Raijua. Proses perpindahan 170 PNS ini terindikasi ada sejumlah persoalan administratif birokrasi dan bahkan disinyalir sarat dengan muatan politis. Lebih parahnya lagi, sempat ada sentimen etnis yang terkuak dalam proses tersebut.
Sebelum jauh beropini terkait dengan maraknya pemberitaan media tentang persoalan di Kabupaten Kupang, saya ingin mengatakan bahwa kalau kita benar-benar mengatakan dalam hati, bae sonde bae flobamora lebe bae, maka buang jauh-jauh sentimen etnis tersebut. Sekalipun terasa bahwa benar dan ada sentimen tersebut.
Dasar opini saya hanya sederhana, kenapa persoalan birokratis semacam ini harus terjadi di Kabupaten Kupang menjelang usianya yang ke-51 tepatnya tanggal 9 Agustus 1958. Secara kasar, orang Kupang akan mengatakan bahwa sonde ada satu setan, dua binatang yang menyangkal kalo Kabupaten Kupang adalah induk dari Kota Kupang, Kab. Rote Ndao dan Kab. Sabu Raijua. Sekali lagi, kenapa persoalan birokratis itu harus terjadi di Kabupaten Kupang yang nota bene adalah kabupaten yang telah melahirkan tiga daerah otonom..?? Logikanya, sudah tidak pantas persoalan semacam itu terjadi di Kabupaten Kupang, kabupaten yang seharusnya telah matang dalam tata pemerintahan lokal.
Cukup masuk akal apa yang disampaikan oleh para PNS yang menolak dipindahkan ke Kabupaten Sabu Raijua. Sebagaimana alasan yang dikemukakan bahwa mutasi bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, yang telah diubah dengan UU nomor 43 Tahun 1999 pasal 12, 13, dan 17 menyangkut manajemen PNS yang yang tugas pokoknya adalah mewujudkan pembangunan yang berdayaguna melalui pembinaan berdasarkan berdasarkan sistem prestasi kerja dan karier, jo PP Nomor 100 Tahun 2000 sebagaimana dirubah dengan PP Nomor 13 Tahub 2002 Tentang Norma, standar dan prosedur dalam pengangkatan, pemberhentian dari dan dalam jabatan.
Dengan begitu, maka setiap proses mutasi PNS tidak semata hak prerogatif dari pimpinan daerah. Melainkan ada sejumlah aturan dan mekanisme yang harus dipertimbangkan secara baik dan benar.
Disaat masyarakat pembaca sementara hangat-hangatnya mengikuti perkembangan persoalan mutasi 170 PNS Kabupaten Kupang ke Kabupaten Sabu Raijua, PTUN Kupang mengeluarkan keputusan yang memenangkan SEKDA Barnabas nDjurumana Cs. Dimana putusan PTUN tersebut mengabulkan gugatan para penggugat (Barnabas nDjurumana Cs) seluruhnya. Selain itu juga menyatakan batal SK Bupati sesuai SK yang diterima masing-masing penggugat, seperti Barnabas B. nDjurumana, No. 821/06/IV/2009 tanggal 21 April 2009 tentang Pencabutan SK Bupati No. SK.800/562/63.A/2008/UP tanggal 18 September 2008, tentang Perpanjangan Batas Usia Pensiun Bagi Pejabat Struktural Eselon II di Lingkungan Pemkab Kupang. Bunyi putusan serupa berlaku untuk lima penggugat lainnya sesuai nomor SK Bupati dan tanggal pencabutannya masing-masing. Selain itu juga, memerintahkan kepada tergugat untuk mencabut SK Bupati Kupang tentang Pencabutan SK Bupati Kupang terkait dengan perpanjangan batas usia pensiun bagi pejabat struktural eselon II di lingkup Kabupaten Kupang. Bahkan putusan PTUN Kupang juga memerintahkan kepada tergugat untuk melakukan rehabilitasi nama baik serta mengembalikan kedudukan para penggugat pada jabatannya atau jabatan setingkatnya.
Putusan PTUN Kupang tersebut, bagaikan oase di padang gurun. Ke-170 PNS yang mempersoalkan kepindahan ke Kabupaten Sabu Raijua semakin semangat untuk menentangkan kebijakan Bupati Kupang yang dianggap arogan dan kurang mempertimbangkan sejumlah tata aturan, dan hanya mengacu pada hak prerogatif semata.
Gayung bersambut. Putusan PTUN Kupang didesak untuk segera direalisasi dan 170 PNS terus mendengungkan protes atas kebijakan yang kurang bijaksana.

Ada Apa Dengan Bupati Kupang?
Sebagaimana diketahui bersama bahwa Kabupaten Kupang merupakan induk dari tiga daerah otonom, Kota Kupang, Kab. Rote Ndao dan Kab. Sabu Raijua. Namun begitu kabupaten tersebut masih saja menghadapi persoalan administrasi birokrasi yang menyebabkan protes dan bahkan kebijakan yang dikeluarkan oleh Bupati harus dibawa ke dalam ranah hukum.
Kalau begitu, dengan telah melahirkan tiga daerah otonom, apakah menjamin bahwa tata birokrasi suatu daerah telah mapan?. Sebenarnya tidak juga, karena kemapanan tata birokrasi dalam suatu pemerintahan sangat berpengaruh pada siapa yang memimpin, selain dari sistem pemerintahan itu sendiri. Jadi, bisa saja masalah tersebut terjadi di Kabupaten Kupang, induk dari tiga daerah otonom.
Bisa saja bahwa sistem pemerintahan dan kepemimpinan yang lalu telah menunjukkan kemapanan birokrasi di kabupaten Kupang, sehingga telah melahirkan tiga daerah otonom. Dan bisa saja, kepemimpinan saat ini belum beradaptasi dan mengimbangi dengan kemapanan birokrasi di Kabupaten Kupang.
Ada apa dengan Bupati Kupang saat ini sehingga harus menghadapi persoalan birokrasi semacam ini? Mungkinkah daya dorong kepentingan politik begitu besar sehingga memunculkan sikap kurang bijaksana dalam mengambil keputusan? Apa mungkin dinamika birokrasi saat ini telah berbeda dengan kepemimpinan yang ada pada masa yang lalu? Akan ada banyak pertanyaan ketika kita mendekatkan diri dengan persoalan birokrasi di Kabupaten Kupang. Namun tentunya semua pertanyaan itu hanya bermuara pada satu pertanyaan, Ada apa dengan Bupati Kupang?
Pertanyaan tersebut merupakan representasi dari banyak pertanyaan yang bisa dimunculkan. Karena memang Bupatilah yang memiliki peran penting atas semua persoalan di daerah otonom tersebut. Sehingga jangan marah kalau dalam persoalan ini, akan banyak bermunculan pertanyaan subjektif yang mengarah pada sang Bupati.
Mengacu pada pertanyaan, ada apa dengan Bupati Kupang, maka dapat dikatakan bahwa Bupati Kupang periode 2009-2014, yang dilantik Rabu 25 Maret 2009, dalam menjalankan roda pemerintahan, terlalu terburu-buru untuk mengambil keputusan-keputusan yang signifikan dalam roda pemerintahannya. Sebab, baru beberapa minggu menjabat sebagai pemimpin di Kabupaten Kupang, sang Bupati telah merespon negatif SK Bupati No. SK.800/562/63.A/2008/UP tanggal 18 September 2008 tentang Perpanjangan Batas Usia Pensiun Bagi Pejabat Struktural Eselon II di Lingkungan Pemkab Kupang.
Selain itu juga, Bapak Bupati Kupang sepertinya terobsesi untuk secepat mungkin Kabupaten Sabu Raijua mandiri, sehingga tanpa banyak pertimbangan mengambil kebijakan pemindahan 170 PNS dari Kabupaten Kupang. Bahkan juga terlihat jelas dari pemberitaan media massa bahwa, Bupati Kupang terlalu buru-buru dalam menanggapi setiap protes, sehingga terkesan emosional dan salah sasaran dalam mengeluarkan pernyataan.
Diakhir tulisan ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa sang Bupati Kupang perlu Cooling Down dan merefleksikan arah serta tujuan kepemimpinannya. Serta mencari relasi yang tepat untuk mediskusikan persoalan ini. Jangan mendiskusikan persoalan ini dengan orang atau kelompok yang memiliki kepentingan tertentu. Bahkan sebaiknya lebih banyak mendengar daripada terburu-buru untuk mengeluarkan pernyataan. Kalau tidak, kasihan dengan sang induk dari tiga daerah otonom. Kenapa sang induk yang harus dirundung soal? Bukannya memberikan teladan bagi anak-anaknya.***

Opini tersebut dimuat pada
Harian Kota KURSOR
Sabtu, 8 Agustus 2009

ANAK DAN INDUK YANG BERBEDA


ANAK DAN INDUK YANG BERBEDA
(Catatan Ringan Atas Beda Sikap Walikota Dan Bupati Kupang)
Oleh : Adi Nange - Pegiat NGO

Media masa lokal di Nusa Tenggara Timur, baik itu cetak maupun elektronik,  belakangan ini (bahkan mungkin kedepannya juga) saling berlomba untuk memberitakan persoalan penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Kupang yang oleh kebanyakan pihak disebut ”sangat buruk” dan merugikan masyarakat. Pemberitaan kasus penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Kupang ini, kini boleh dikatakan menyaingi kasus sengketa PILPRES 2009 bahkan bisa akan menyaingi berita pemburuan para teroris yang kembali unjuk aksi di tanah Ibu Pertiwi, jika para pengambil kebijakan di Kabupaten Kupang selalu ”salah” dan tidak bijak dalam mengeluarkan kebijakan untuk mensejahterakan warganya.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis akan merefleksikan pemberitaan media massa terkait dengan masalah yang terjadi di Kabupaten Kupang. Dimana sikap Bupati Kupang saat ini yang sangat kontroversial dalam pengambilan kebijakan. Baik terkait dengan putusan PTUN Kupang yang mengabulkan gugatan para penggugat (Barnabas nDjurumana Cs) seluruhnya dan ditanggapi negatif oleh Bupati Kupang. Maupun persoalan tentang mutasi 170 PNS Kabupaten Kupang ke kabupaten yang baru dimekarkan, Kabupaten Sabu Raijua yang dianggap Bupati Kupang kurang mempertimbangkan secara matang dari segala sisi, termasuk juga dengan persoalan pelaksanaan pembangunan yang terhambat. Selain itu, tulisan ini juga merupakan refleksi terkait dengan sikap positif dari Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe yang menerima putusan PTUN Kupang tanpa keinginan untuk banding terkait dengan gugatan salah satu stafnya di Kota Kupang. Ini berbanding terbalik dengan sikap Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, yang tidak menerima putusan PTUN Kupang dan melakukan banding atas kekalahannya dari gugatan SEKDA Barnabas nDjurumana Cs.
Kita sama-sama tahu bahwa Kabupaten Kupang adalah kabupaten induk dari Kota Kupang, Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Sabu Raijua. Tapi aneh, Kota Kupang (sang anak) dapat menunjukan sikap kebapakkan dalam menerima putusan PTUN Kupang atas gugatan stafnya. Sedangkan Kabupaten Kupang (sang induk) menunjukkan sikap kekanak-kanakan dalam menerima putusan PTUN Kupang atas gugatan bawahannya. Mungkin lewat sikap beda dari anak dan induk tersebut mau menunjukkan bahwa tak selamanya buah jatuh dekat dengan pohon.
Sang anak, dengan pemimpinnya Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe digugat oleh Margaretha Salean ke PTUN Kupang atas dikeluarkannya SK Nomor BKD.862/046.a/B/I 2009 tanggal 28 Januari 2009 tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin Berupa Pembebasan Dari Jabatan Sebagai Kasie Pengelolaan Arsip Statis Unit Kerja Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Kupang dengan Pangkat/Golongan ruang Penata III/c. Dalam perjalanan proses hukumnya, majelis hakim PTUN Kupang mengabulkan gugatan Margaretha Salean dan menyatakan batal SK yang dikeluarkan oleh Walikota Kupang tersebut. Selain itu, memerintahkan Walikota Kupang sebagai tergugat untuk mencabut SK dimaksud dan melakukan  rehabilitasi serta mengembalikan kedudukan penggugat pada jabatan setingkat.
Sedangkan sang induk, dengan pemimpinnya Bupati Ayub Titu Eki, digugat oleh SEKDA Barnabas nDjurumana Cs terkait dengan dikeluarkannya SK Bupati tentang pembatalan atas SK Bupati tentang Perpanjangan Batas Usia Pensiun Bagi Pejabat Struktural Eselon II di Lingkungan Pemkab Kupang. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa putusan PTUN Kupang tersebut mengabulkan gugatan para penggugat (Barnabas nDjurumana Cs) seluruhnya. Selain itu juga menyatakan batal SK Bupati sesuai SK yang diterima masing-masing penggugat, seperti Barnabas B. nDjurumana, No. 821/06/IV/2009 tanggal 21 April 2009 tentang Pencabutan SK Bupati No. SK.800/562/63.A/2008/UP tanggal 18 September 2008, tentang Perpanjangan Batas Usia Pensiun Bagi Pejabat Struktural Eselon II di Lingkungan Pemkab Kupang. Bunyi putusan serupa berlaku untuk lima penggugat lainnya sesuai nomor SK Bupati dan tanggal pencabutannya masing-masing. Selain itu juga, memerintahkan kepada tergugat untuk mencabut SK Bupati Kupang tentang Pencabutan SK Bupati Kupang terkait dengan perpanjangan batas usia pensiun bagi pejabat struktural eselon II di lingkup Kabupaten Kupang. Bahkan putusan PTUN Kupang juga memerintahkan kepada tergugat untuk melakukan rehabilitasi nama baik serta mengembalikan kedudukan para penggugat pada jabatannya atau jabatan setingkatnya.
Pada prinsipnya dapat dikatakan bahwa, sang anak dan sang induk menghadapi persoalan gugatan yang sama. Bahkan pemimpin sang anak dan sang induk sama-sama kalah dalam putusan PTUN Kupang dengan perintah hukum yang sama untuk segera dilakukan. Dimana pemimpin sang anak dan sang induk diperintahkan untuk membatalkan dan pencabutan surat keputusan, serta memerintahkan kepada tergugat untuk melakukan rehabilitasi nama baik serta mengembalikan kedudukan para penggugat pada jabatannya atau jabatan setingkatnya.
Sekalipun sama dalam menghadapi persoalan di PTUN Kupang, tetapi sang anak dan sang induk berbeda secara prinsip dalam menanggapi putusan mejelis hakim PTUN Kupang tersebut. Pemimpin sang anak dengan lapang dada dan berbesar hati menerima putusan itu tanpa banding. Sedangkan pemimpin sang induk dengan berbusung dada dan kecil hati menerima putusan itu dengan banding.
            Perbedaan sikap tersebut terekam jelas dalam pemberitaan media massa. Misalnya, Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe dalam Harian Kota KURSOR Kamis, 13 Agustus 2009 halaman empat mengatakan bahwa ”saya tidak banding atas kekalahan itu dan harus menerimanya dengan besar hati atau lapang dada”. Dilain pihak, pemimpin sang induk menyatakan banding atas putusan PTUN Kupang terkait dengan gugatan yang dihadapi.
            Ya, setiap orang memang memiliki hak dan peluang yang dilindungi oleh hukum dalam menyikapi putusan PTUN tersebut. Dalam konteks ini sangat tergantung dari keterpanggilan wibawa masing-masing pemimpin dalam merespon putusan.

Mengapa Anak dan Induk Beda?
Judul kecil ini bisa jadi pertanyaan bersama bagi kita. Ada banyak cara dan dasar untuk menjawab pertanyaan ini. Seandainya kalau anak dan induk tersebut adalah tumbuhan, hewan atau manusia tentunya dapat dilakukan analisa cermat di laboratorium yang super canggih untuk mengetahui faktor-faktor genetik, karena pada prinsipnya harus sama. Namun yang dimaksud saat ini adalah dua daerah otonom yang pada mulanya adalah satu.
Kalau begitu, mengapa anak dan induk beda? Tentunya akan bisa berbeda dan sejatinya memang beda. Kalau seandainya sama secara mutlak, tidak mungkin terjadi pemekaran daerah otonom.
Banyak faktor yang menyebakan anak dan induk dalam konteks ini berbeda. Bisa saja terkait dengan dinamika pemerintahan daerah yang berbeda, bisa juga karakter kepemimpinan yang berbeda.
Mungkin relasi antara staf dan atasan di wilayah Kota Kupang lebih baik daripada Kabupaten Kupang. Hal ini bisa disebabkan karena dinamika politik semasa suksesi yang mengangkat para pemimpin tersebut telah dieliminir secara baik di Kota Kupang. Sedangkan di Kabupaten Kupang belum maksimal, sehingga yang terjadi adalah saling curiga dan balas dendam.
Bisa juga disebabkan karena berbeda cara pandang terhadap gugatan bawahan kepada atasan. Mungkin gugatan bawahan kepada atasan di Kota Kupang dilihat sebagai hak bawahan untuk mencari keadilan. Sedangkan di Kabupaten Kupang di anggap sebagai upaya perlawanan terhadap atasan. Apalagi secara hukum ada peluang dan tahapan yang harus ditempuh oleh setiap orang.
Atau bisa juga beban persoalan yang dihadapi oleh kedua pemimpin tersebut berbeda. Di Kota Kupang sejatinya dinamika pembangunan sementara berjalan normal dan dalam upaya menjawab sejumlah kebutuhan dasar dari masyarakat. Sementara di Kabupaten Kupang dinamika pembangunannya belum berjalan normal karena pemimpin sang induk belum setahun masa jabatannya tetapi sudah menghadapi sejumlah persoalan krusial. Misalnya gugatan di PTUN Kupang, proses pemekaran daerah otonom baru yaitu Kabupaten Sabu Raijua, sampai pada persoalan mutasi 170 PNS Kabupaten Kupang ke Kabupaten Sabu Raijua yang sangat menguras tenaga dan pikiran bupati.
Mungkin juga perbedaan karakter kepempinan bisa disebabkan oleh lingkungan politik di sekitar pemimpin sang anak dan sang induk yang lebih mengutamakan pada kepentingan kelompok tertentu daripada kepentingan masyarakat.
Tapi, sudahlah, karena memang harus disadari bahwa setiap pemimpin memiliki karakter yang berbeda dalam memimpin. Selain itu juga memiliki cara pandang yang berbeda dalam menanggapi atau menyikapi sesuatu.
Jadi memang harus berbeda, dalam konteks daerah otonom sejatinya akan berbeda satu daerah dengan daerah lainnya. Tak peduli daerah induk atau daerah pemekaran. Namun yang menjadi bahan refleksi bersama adalah jangan kita melihat perbedaan dalam konteks ini (Kota Kupang-Sang Anak dengan Kabupaten Kupang-Sang Induk) disebakan karena latar pendidikan atau etnis dari sang pemimpin. Karena siapapun yang menjadi pemimpin tentunya akan menghadapi sebuah dinamika yang berbeda. Mungkin perlu ruang koordinasi atau sharring pengalaman yang lebih intens antara pemimpin sang anak dan sang induk untuk waktu yang akan datang.***


Dengar Cerita Di Jalan


Dengar Cerita Di Jalan
Ada Tersangka Yang Ditahan, Ada Yang Bebas

Hampir setiap hari berita-berita di koran pasti memuat tentang kasus korupsi. Banyak hal yang bisa disimak dari masalah korupsi yang terekpose di koran-koran. Bisa disimak tentang apa yang dilakukan oleh aparat hukum atau mungkin juga sangat menarik untuk menyimak tentang begitu hebatnya para tersangka untuk berkelit. Lebih menariknya adalah hampir semua kasus korupsi pasti melibatkan orang-orang yang punya jabatan dan kekuasaan di pemerintahan, dan masih terus ingin mempertahankan jabatan serta kekuasaannya itu. Aneh, memang aneh, tapi inilah kenyataan yang dapat kita lihat dan rasakan. Mungkin ini bisa terjadi karena tidak semua tersangka kasus korupsi ditahan.

Berita-berita koran tentang kasus korupsi sangat baik untuk dijadikan bahan pembicaraan dan analisis awam dari sekelompok orang yang ingin iseng-iseng mencari tahu tentang ada apa dibalik semuanya itu. Disimpang jalan sana ada beberapa orang yang dengan tidak sengaja berdiskusi tentang penanganan kasus korupsi di NTT dan lebih khususnya di Kota Kupang. Orang-orang yang berkumpul itu berbicara dengan heran, dan sepertinya mereka orang awam tapi sedikit mengerti tentang hukum. Kayaknya mereka pernah duduk dibangku kuliah, di dunia kampus. Atau jangan-jangan mereka adalah beberapa orang dosen dan mahasiswa yang lagi menunggu angkota untuk ke kampus. Tapi sudahlah penampilan mereka bukan hal yang menarik untuk ditulis, tapi apa yang mereka bicarakan sangat baik untuk didengar dan ditulis. Karena memang dalam kenyataannya ada orang yang berpenampilan sangat menawan, berpakaian rapi bahkan berjas, menggunakan mobil dan sopir pribadi, punya ajudan, kalau turun mobil ada yang membukakan pintu, kalau berjalan dan bertemu dengan bawahannya pasti mendapat hormat, tapi semua itu adalah semu dan sementara. Ada kecurigaan bahwa mungkin orang yang berpenampilan menawan inilah yang dibicarakan oleh orang-orang yang ada di simpang jalan itu.

Seseorang yang ada di simpang jalan itu sepertinya lagi serius membaca sebuah harian kota. Sementara membaca dia bergumam dengan sendirinya “beta sonde tau lai, kira-kira yang salah ni katong pung aturan hukum yang tertulis ko atau katong pung aparat hukum”. Seorang wanita yang berdiri agak dekat dengannya, heran dan mulai bertanya “su kanapa lai ni bu, ada berita apa ko pagi-pagi begini bu pung testa su bakarut ni?”. “Abis di berita koran yang lalu beta ada dapa baca kalau ada pejabat di Kota Kupang yang su jadi tersangka, dan ini hari lai ada kepala dinas lai yang jadi tersangka”, sambung orang yang sedang baca koran itu. Sambil tersenyum wanita itu berkata “bu e, itukan berarti katong pung aparat hukum dong hebat-hebat dan dong su kerja dengan bae to!”. Dengan kaget dan wajah cukup serius orang itu menyerahkan koran pada wanita di dekatnya sambil berkata “susi e lebe bae susi baca ini koran baru katong baomong sa. Te jang sampe nanti beta deng susi yang jadi bakalai di simpang jalan sini”. Wanita itu mengambil koran dan segera membaca lalu kembali berbincang dengan orang yang ada di dekatnya “wee betul bu, beta rasa katong pung jaksa dong su semakin berani tetapkan tersangka deng ini kapala dinas dan hebat ju karena dong barani tahan ini kapala dinas oo”. Masih dengan rasa cemasnya lelaki itu berujar “susi, daritadi susi maen bilang hebat deng aparat hukum dong, memangnya dong pung apa yang hebat”. Dengan tenang, wanita itu langsung mengatakan “hebat karena dong barani tetapkan tersangka dan tahan itu kapala dinas e. Ini berarti bahwa itu kapala dinas sonde barani kapala angin deng jaksa dong too”. “Bagini sa susi, susi pernah baca dikoran atau mungkin dengar dari orang kalo ada beberapa pejabat di Kota Kupang yang su jadi tersangka ko sonde?” tanya sang lelaki. “Jang marah bu, beta sonde talalu suka ikuti kasus korupsi na”. Dengan semakin cemas lelaki itu berkata “Ini ni yang orang bilang ‘sonya’ sonde nyambung, makanya kalau sonde tau tentang perkembagan proses hukum kasus korupsi na jang talalu capat puji-puji dengan aparat hukum dong. Katong kasi puji tu kalo dong barani tahan samua tersangka, jang hanya saparu sa”.

Memang, tidak semua orang yang ada di Kota Kupang khususnya, senang dengan informasi penanganan kasus korupsi. Apalagi mau dengan sepenuh hati memberantas korupsi yang sementara merajalela. Ketika masalah korupsi diwacanakan semua orang menyampaikan pikiran dan harapannya. Namun ketika masalah korupsi telah menjadi kenyataan di depan mata kita, tidak semua orang mau berpikir dan berharap untuk segera memberantasnya. Hanya segelintir orang yang tetap punya komitmen untuk memberantas korupsi, dan tidak sedikit juga orang yang acuh tak acuh dengan masalah korupsi. Orang yang acuh tak acuh tersebut, terkadang bisa berlagak punya komitmen untuk memberantas kasus korupsi, tapi sebenarnya itu hanya sebuah sikap ikut ramai.

Seorang anak muda yang sejak tadi mendengar pembicaraan lelaki dan wanita itu mulai angkat bicara “Tanta, sebenarnya su dari lama ada beberapa pejabat yang ditetapkan jadi tersangka. Sebelum ini kapala dinas jadi tersangka dan ditahan, su ada pejabat laen yang jadi tersangka tapi dong sonde sial sama ke itu kapala dinas ko sampe kena tahan. Dong masi bebas, bisa pasiar ju pi luar daerah. Jadi yang tadi ini om omong ni, omong karena heran, ini kapala dinas kena tahan ko kanapa yang laen sonde. Begitu tanta”. “Ooo…kalo begitu yang bu persoalkan dari tadi tu karena ada tersangka yang kena tahan dan ada yang sonde kena tahan koo?” tanya wanita itu pada lelaki tadi. Dengan sedikit menahan rasa cemasnya, lelaki itu menjawab “berarti yang dari tadi beta omong ni susi sonde mangarti ju e. Susi ni su ‘sonya’ tamba deng ‘telmi’ lai ni maa”. Sedikit berpikir, lalu wanita itu bertanya pada dua orang lelaki tersebut “Jadi menurut bu deng ade nyong ni, kira-kira yang tadi beta puji deng itu jaksa dong tu salah ko?”. Jawab lelaki itu “Sebenarnya susi pung pujian tu sonde salah, cuma balom apa-apa susi su mulai puji na. Susi talalu capat kasi pujian sa. Beta rasa susi pung pujian tu akan sangat berharga kalo pas waktunya. Maksudnya, kalo memang samua tersangka kasus korupsi ditahan berarti polisi dan jaksa harus dapa puji karena dong sonde pandang bulu untuk berantas korupsi”. Anak muda itu pun ikut menanggapinya “betul tanta, beta setuju deng ini om. Tanta pung pujian tu sonde salah, cuma sonde tepat waktu sa. Soal pujian dengan aparat hukum ni, beta deng beta pung kawan kuliah dong ju ada rencana untuk puji dong samua aparat hukum, asalkan dong proses para tersangka dengan adil. Kalo sampe samua tersangka dong tahan, beta deng beta pung kawan dong akan kasi ucapan profisiat di satu halaman koran na”. Masih dengan wajah agak bingung, wanita itu kembali bertanya “kira-kira kanapa ko sonde samua tersangka di tahan e?”. Dengan semangat, anak muda itu menjawab “begini tanta, untuk urus kasus korupsi ni aturan hukum yang dipakai polisi deng jaksa pasti sama. Cuma dong pung penafsiran sa yang kadang-kadang berbeda”. Lelaki yang setengah baya itu pun langsung memotong pembicaraan anak muda itu “batul nyong, beta sapakat”.

Memang, ketika ada kasus korupsi yang ditangani oleh aparat hukum, polisi dan jaksa, pasti saja akan kita lihat sesuatu yang cukup aneh dan memaksa kita untuk menganalisis secara cermat dan mendalam. Misalnya, kita harus bertanya, kenapa polisi tidak menahan para tersangka sedangkan jaksa langsung menahan tersangka?. Jadi kalau berbicara masalah korupsi, kita jangan hanya terjebak dengan pemahaman bahwa ada seseorang atau sekelompok orang yang menyalahgunakan keuangan negara untuk memperkaya diri atau kelompoknya, tetapi juga masalah korupsi terkait dengan seorang atau sekelompok aparat hukum yang enggan menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk memberantas korupsi. Artinya, bahwa aparat hukum itu telah salah gunakan waktu yang diberikan negara/pemerintah untuk memberantas korupsi. Singkatnya, masalah korupsi adalah masalah yang terkait dengan koruptor dan aparat hukum. Kalau memang ada koruptor, maka aparat hukum harus menahannya. Kalau ada koruptor dan aparat hukum tidak menahannya, maka akan membuat bingung masayarakat awam, dan akan memunculkan pertanyaan, kalau begitu siapa yang koruptor sesungguhnya? Koruptor itu sendiri atau aparat hukum? Ada baiknya pertanyaan ini tak usah dijawab, tapi baik untuk direfleksikan.

Ketiga orang itu kembali bercakap-cakap. “bu, jang marah e kalo dari tadi beta cukup buat bu spaning nae sadiki. Kayanya dari katong pung omong-omong ni, beta semakin tertarik ikuti perkembangan proses hukum kasus korupsi” kata wanita itu serius. Dengan sapaan balik yang serius dan kalam lelaki itu berkata “sonde apa-apa susi, yang penting katong sama-sama su bisa pahami tentang kenyataan yang katong alami terkait dengan proses hukum kasus korupsi. Ada tersangka yang kena tahan dan ada yang bebas. Tapi beta jujur sa susi, untung ko ini nyong iko bantu kasi pendapat, kalo sonde beta ju pasti spaning akan nae trus karena susi ju pung tingka ke talalu ‘sonya’ deng ‘telmi’ na”. “Telmi tu apa bu? Kalo ‘sonya’ kan sonde nyambung to” tanya wanita itu. Sambil tertawa kecil, lelaki itu menjawab “telmi tu sejenis makanan ringan”. “Batul ko nyong?” tanya wanita itu pada anak muda. “Beta dengar dari beta pung kawan dong, ‘telmi’ tu telat mikir, tapi batul ko sonde beta ju sonde tau” jawab anak muda itu sambil senyum. “Sudah lai, mari su susi katong jalan pi kampus su te damri su muncul ni” kata lelaki itu. “Hee…om deng tanta ju mau pi kampus ko? Berarti katong kuliah satu kampus ni ma” sambung anak muda itu. “Iya nyong, katong satu kampus, tapi beta deng ini om ni baru lulus jadi dosen, makanya katong mau pi kampus ko lapor diri ni” jawab wanita itu. “Nyong e, beta rasa katong harus bangun bersama dunia kampus supaya bisa kritisi proses hukum kasus korupsi. Karena sakarang ni su jelas-jelas katong selalu dengar bahwa samua orang sama di depan hukum, tapi kenyataannya beda di depan aparat hukum. Makanya katong, mahasiwa deng dosen harus gandeng tangan ko buat satu sikap bersama dari kampus” usul lelaki yang baru jadi dosen itu. “Beta setuju, selama korupsi dan aparat hukum sama-sama masih dilihat sebagai masalah maka katong harus nyatakan sikap” wanita yang juga baru jadi dosen itu ceplas ceplos. 

Yaa…memang ada banyak hal menarik yang bisa dipelajari dari penanganan kasus korupsi. Juga akan muncul sejumlah ide dan pikiran kritis dari orang yang punya komitmen berantas korupsi untuk nyatakan sikap. Gandeng tangan, satukan pikiran, ikat komitmen dalam hati, maju dan langkah bersama nyatakan ‘Lawan Korupsi Sekarang Juga’.*

Adi Nange
Tinggal Di Kampung Baru – Kota Kupang-2004

TRANLATE:


Kamus Orisinil:


Twitter Facebook Delicious Google Delicious Stumbleupon Delicious Technorati Reddit GoogleBuzz Buzz Myspace yahoo Favorites More

Berlangganan Artikel

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner