ADI - IRENE - GIAN - GIBRAL

Selasa, 23 Oktober 2012

ANAK DAN INDUK YANG BERBEDA


ANAK DAN INDUK YANG BERBEDA
(Catatan Ringan Atas Beda Sikap Walikota Dan Bupati Kupang)
Oleh : Adi Nange - Pegiat NGO

Media masa lokal di Nusa Tenggara Timur, baik itu cetak maupun elektronik,  belakangan ini (bahkan mungkin kedepannya juga) saling berlomba untuk memberitakan persoalan penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Kupang yang oleh kebanyakan pihak disebut ”sangat buruk” dan merugikan masyarakat. Pemberitaan kasus penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Kupang ini, kini boleh dikatakan menyaingi kasus sengketa PILPRES 2009 bahkan bisa akan menyaingi berita pemburuan para teroris yang kembali unjuk aksi di tanah Ibu Pertiwi, jika para pengambil kebijakan di Kabupaten Kupang selalu ”salah” dan tidak bijak dalam mengeluarkan kebijakan untuk mensejahterakan warganya.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis akan merefleksikan pemberitaan media massa terkait dengan masalah yang terjadi di Kabupaten Kupang. Dimana sikap Bupati Kupang saat ini yang sangat kontroversial dalam pengambilan kebijakan. Baik terkait dengan putusan PTUN Kupang yang mengabulkan gugatan para penggugat (Barnabas nDjurumana Cs) seluruhnya dan ditanggapi negatif oleh Bupati Kupang. Maupun persoalan tentang mutasi 170 PNS Kabupaten Kupang ke kabupaten yang baru dimekarkan, Kabupaten Sabu Raijua yang dianggap Bupati Kupang kurang mempertimbangkan secara matang dari segala sisi, termasuk juga dengan persoalan pelaksanaan pembangunan yang terhambat. Selain itu, tulisan ini juga merupakan refleksi terkait dengan sikap positif dari Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe yang menerima putusan PTUN Kupang tanpa keinginan untuk banding terkait dengan gugatan salah satu stafnya di Kota Kupang. Ini berbanding terbalik dengan sikap Bupati Kupang, Ayub Titu Eki, yang tidak menerima putusan PTUN Kupang dan melakukan banding atas kekalahannya dari gugatan SEKDA Barnabas nDjurumana Cs.
Kita sama-sama tahu bahwa Kabupaten Kupang adalah kabupaten induk dari Kota Kupang, Kabupaten Rote Ndao dan Kabupaten Sabu Raijua. Tapi aneh, Kota Kupang (sang anak) dapat menunjukan sikap kebapakkan dalam menerima putusan PTUN Kupang atas gugatan stafnya. Sedangkan Kabupaten Kupang (sang induk) menunjukkan sikap kekanak-kanakan dalam menerima putusan PTUN Kupang atas gugatan bawahannya. Mungkin lewat sikap beda dari anak dan induk tersebut mau menunjukkan bahwa tak selamanya buah jatuh dekat dengan pohon.
Sang anak, dengan pemimpinnya Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe digugat oleh Margaretha Salean ke PTUN Kupang atas dikeluarkannya SK Nomor BKD.862/046.a/B/I 2009 tanggal 28 Januari 2009 tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin Berupa Pembebasan Dari Jabatan Sebagai Kasie Pengelolaan Arsip Statis Unit Kerja Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Kupang dengan Pangkat/Golongan ruang Penata III/c. Dalam perjalanan proses hukumnya, majelis hakim PTUN Kupang mengabulkan gugatan Margaretha Salean dan menyatakan batal SK yang dikeluarkan oleh Walikota Kupang tersebut. Selain itu, memerintahkan Walikota Kupang sebagai tergugat untuk mencabut SK dimaksud dan melakukan  rehabilitasi serta mengembalikan kedudukan penggugat pada jabatan setingkat.
Sedangkan sang induk, dengan pemimpinnya Bupati Ayub Titu Eki, digugat oleh SEKDA Barnabas nDjurumana Cs terkait dengan dikeluarkannya SK Bupati tentang pembatalan atas SK Bupati tentang Perpanjangan Batas Usia Pensiun Bagi Pejabat Struktural Eselon II di Lingkungan Pemkab Kupang. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa putusan PTUN Kupang tersebut mengabulkan gugatan para penggugat (Barnabas nDjurumana Cs) seluruhnya. Selain itu juga menyatakan batal SK Bupati sesuai SK yang diterima masing-masing penggugat, seperti Barnabas B. nDjurumana, No. 821/06/IV/2009 tanggal 21 April 2009 tentang Pencabutan SK Bupati No. SK.800/562/63.A/2008/UP tanggal 18 September 2008, tentang Perpanjangan Batas Usia Pensiun Bagi Pejabat Struktural Eselon II di Lingkungan Pemkab Kupang. Bunyi putusan serupa berlaku untuk lima penggugat lainnya sesuai nomor SK Bupati dan tanggal pencabutannya masing-masing. Selain itu juga, memerintahkan kepada tergugat untuk mencabut SK Bupati Kupang tentang Pencabutan SK Bupati Kupang terkait dengan perpanjangan batas usia pensiun bagi pejabat struktural eselon II di lingkup Kabupaten Kupang. Bahkan putusan PTUN Kupang juga memerintahkan kepada tergugat untuk melakukan rehabilitasi nama baik serta mengembalikan kedudukan para penggugat pada jabatannya atau jabatan setingkatnya.
Pada prinsipnya dapat dikatakan bahwa, sang anak dan sang induk menghadapi persoalan gugatan yang sama. Bahkan pemimpin sang anak dan sang induk sama-sama kalah dalam putusan PTUN Kupang dengan perintah hukum yang sama untuk segera dilakukan. Dimana pemimpin sang anak dan sang induk diperintahkan untuk membatalkan dan pencabutan surat keputusan, serta memerintahkan kepada tergugat untuk melakukan rehabilitasi nama baik serta mengembalikan kedudukan para penggugat pada jabatannya atau jabatan setingkatnya.
Sekalipun sama dalam menghadapi persoalan di PTUN Kupang, tetapi sang anak dan sang induk berbeda secara prinsip dalam menanggapi putusan mejelis hakim PTUN Kupang tersebut. Pemimpin sang anak dengan lapang dada dan berbesar hati menerima putusan itu tanpa banding. Sedangkan pemimpin sang induk dengan berbusung dada dan kecil hati menerima putusan itu dengan banding.
            Perbedaan sikap tersebut terekam jelas dalam pemberitaan media massa. Misalnya, Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe dalam Harian Kota KURSOR Kamis, 13 Agustus 2009 halaman empat mengatakan bahwa ”saya tidak banding atas kekalahan itu dan harus menerimanya dengan besar hati atau lapang dada”. Dilain pihak, pemimpin sang induk menyatakan banding atas putusan PTUN Kupang terkait dengan gugatan yang dihadapi.
            Ya, setiap orang memang memiliki hak dan peluang yang dilindungi oleh hukum dalam menyikapi putusan PTUN tersebut. Dalam konteks ini sangat tergantung dari keterpanggilan wibawa masing-masing pemimpin dalam merespon putusan.

Mengapa Anak dan Induk Beda?
Judul kecil ini bisa jadi pertanyaan bersama bagi kita. Ada banyak cara dan dasar untuk menjawab pertanyaan ini. Seandainya kalau anak dan induk tersebut adalah tumbuhan, hewan atau manusia tentunya dapat dilakukan analisa cermat di laboratorium yang super canggih untuk mengetahui faktor-faktor genetik, karena pada prinsipnya harus sama. Namun yang dimaksud saat ini adalah dua daerah otonom yang pada mulanya adalah satu.
Kalau begitu, mengapa anak dan induk beda? Tentunya akan bisa berbeda dan sejatinya memang beda. Kalau seandainya sama secara mutlak, tidak mungkin terjadi pemekaran daerah otonom.
Banyak faktor yang menyebakan anak dan induk dalam konteks ini berbeda. Bisa saja terkait dengan dinamika pemerintahan daerah yang berbeda, bisa juga karakter kepemimpinan yang berbeda.
Mungkin relasi antara staf dan atasan di wilayah Kota Kupang lebih baik daripada Kabupaten Kupang. Hal ini bisa disebabkan karena dinamika politik semasa suksesi yang mengangkat para pemimpin tersebut telah dieliminir secara baik di Kota Kupang. Sedangkan di Kabupaten Kupang belum maksimal, sehingga yang terjadi adalah saling curiga dan balas dendam.
Bisa juga disebabkan karena berbeda cara pandang terhadap gugatan bawahan kepada atasan. Mungkin gugatan bawahan kepada atasan di Kota Kupang dilihat sebagai hak bawahan untuk mencari keadilan. Sedangkan di Kabupaten Kupang di anggap sebagai upaya perlawanan terhadap atasan. Apalagi secara hukum ada peluang dan tahapan yang harus ditempuh oleh setiap orang.
Atau bisa juga beban persoalan yang dihadapi oleh kedua pemimpin tersebut berbeda. Di Kota Kupang sejatinya dinamika pembangunan sementara berjalan normal dan dalam upaya menjawab sejumlah kebutuhan dasar dari masyarakat. Sementara di Kabupaten Kupang dinamika pembangunannya belum berjalan normal karena pemimpin sang induk belum setahun masa jabatannya tetapi sudah menghadapi sejumlah persoalan krusial. Misalnya gugatan di PTUN Kupang, proses pemekaran daerah otonom baru yaitu Kabupaten Sabu Raijua, sampai pada persoalan mutasi 170 PNS Kabupaten Kupang ke Kabupaten Sabu Raijua yang sangat menguras tenaga dan pikiran bupati.
Mungkin juga perbedaan karakter kepempinan bisa disebabkan oleh lingkungan politik di sekitar pemimpin sang anak dan sang induk yang lebih mengutamakan pada kepentingan kelompok tertentu daripada kepentingan masyarakat.
Tapi, sudahlah, karena memang harus disadari bahwa setiap pemimpin memiliki karakter yang berbeda dalam memimpin. Selain itu juga memiliki cara pandang yang berbeda dalam menanggapi atau menyikapi sesuatu.
Jadi memang harus berbeda, dalam konteks daerah otonom sejatinya akan berbeda satu daerah dengan daerah lainnya. Tak peduli daerah induk atau daerah pemekaran. Namun yang menjadi bahan refleksi bersama adalah jangan kita melihat perbedaan dalam konteks ini (Kota Kupang-Sang Anak dengan Kabupaten Kupang-Sang Induk) disebakan karena latar pendidikan atau etnis dari sang pemimpin. Karena siapapun yang menjadi pemimpin tentunya akan menghadapi sebuah dinamika yang berbeda. Mungkin perlu ruang koordinasi atau sharring pengalaman yang lebih intens antara pemimpin sang anak dan sang induk untuk waktu yang akan datang.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TRANLATE:


Kamus Orisinil:


Twitter Facebook Delicious Google Delicious Stumbleupon Delicious Technorati Reddit GoogleBuzz Buzz Myspace yahoo Favorites More

Berlangganan Artikel

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner