ANAK DAN INDUK YANG BERBEDA
(Catatan Ringan Atas Beda Sikap Walikota Dan Bupati Kupang)
Oleh : Adi Nange - Pegiat NGO
Media masa lokal di Nusa Tenggara
Timur, baik itu cetak maupun elektronik,
belakangan ini (bahkan mungkin kedepannya juga) saling berlomba untuk
memberitakan persoalan penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Kupang yang
oleh kebanyakan pihak disebut ”sangat buruk” dan merugikan masyarakat. Pemberitaan
kasus penyelenggaraan pemerintahan di Kabupaten Kupang ini, kini boleh
dikatakan menyaingi kasus sengketa PILPRES 2009 bahkan bisa akan menyaingi
berita pemburuan para teroris yang kembali unjuk aksi di tanah Ibu Pertiwi,
jika para pengambil kebijakan di Kabupaten Kupang selalu ”salah” dan tidak
bijak dalam mengeluarkan kebijakan untuk mensejahterakan warganya.
Oleh karena itu, pada
kesempatan ini, penulis akan merefleksikan pemberitaan media massa terkait
dengan masalah yang terjadi di Kabupaten Kupang. Dimana sikap Bupati Kupang
saat ini yang sangat kontroversial dalam pengambilan kebijakan. Baik terkait
dengan putusan PTUN Kupang
yang mengabulkan gugatan para penggugat (Barnabas nDjurumana Cs) seluruhnya dan
ditanggapi negatif oleh Bupati Kupang. Maupun persoalan tentang mutasi 170 PNS
Kabupaten Kupang ke kabupaten yang baru dimekarkan, Kabupaten Sabu Raijua yang
dianggap Bupati Kupang kurang mempertimbangkan secara matang dari segala sisi,
termasuk juga dengan persoalan pelaksanaan pembangunan yang terhambat. Selain itu, tulisan ini juga merupakan refleksi terkait
dengan sikap positif dari Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe yang menerima
putusan PTUN Kupang tanpa keinginan untuk banding terkait dengan gugatan salah
satu stafnya di Kota Kupang. Ini berbanding terbalik dengan sikap Bupati
Kupang, Ayub Titu Eki, yang tidak menerima putusan PTUN Kupang dan melakukan
banding atas kekalahannya dari gugatan SEKDA Barnabas nDjurumana Cs.
Kita sama-sama tahu
bahwa Kabupaten Kupang adalah kabupaten induk dari Kota Kupang, Kabupaten Rote
Ndao dan Kabupaten Sabu Raijua. Tapi aneh, Kota Kupang (sang anak) dapat
menunjukan sikap kebapakkan dalam menerima putusan PTUN Kupang atas gugatan
stafnya. Sedangkan Kabupaten Kupang (sang induk) menunjukkan sikap
kekanak-kanakan dalam menerima putusan PTUN Kupang atas gugatan bawahannya.
Mungkin lewat sikap beda dari anak dan induk tersebut mau menunjukkan bahwa tak
selamanya buah jatuh dekat dengan pohon.
Sang anak, dengan
pemimpinnya Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe digugat oleh Margaretha Salean ke
PTUN Kupang atas dikeluarkannya SK Nomor BKD.862/046.a/B/I 2009 tanggal 28
Januari 2009 tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin Berupa Pembebasan Dari Jabatan
Sebagai Kasie Pengelolaan Arsip Statis Unit Kerja Kantor Arsip dan Perpustakaan
Kota Kupang dengan Pangkat/Golongan ruang Penata III/c. Dalam perjalanan proses
hukumnya, majelis hakim PTUN Kupang mengabulkan gugatan Margaretha Salean dan
menyatakan batal SK yang dikeluarkan oleh Walikota Kupang tersebut. Selain itu,
memerintahkan Walikota Kupang sebagai tergugat untuk mencabut SK dimaksud dan
melakukan rehabilitasi serta
mengembalikan kedudukan penggugat pada jabatan setingkat.
Sedangkan sang induk,
dengan pemimpinnya Bupati Ayub Titu Eki, digugat oleh SEKDA Barnabas nDjurumana Cs terkait dengan
dikeluarkannya SK Bupati tentang pembatalan atas SK Bupati tentang Perpanjangan
Batas Usia Pensiun Bagi Pejabat Struktural Eselon II di Lingkungan Pemkab
Kupang. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa putusan PTUN Kupang tersebut
mengabulkan gugatan para penggugat (Barnabas nDjurumana Cs) seluruhnya. Selain
itu juga menyatakan batal SK Bupati sesuai SK yang diterima masing-masing
penggugat, seperti Barnabas B. nDjurumana, No. 821/06/IV/2009 tanggal 21 April
2009 tentang Pencabutan SK Bupati No. SK.800/562/63.A/2008/UP tanggal 18
September 2008, tentang Perpanjangan Batas Usia Pensiun Bagi Pejabat Struktural
Eselon II di Lingkungan Pemkab Kupang. Bunyi putusan serupa berlaku untuk lima
penggugat lainnya sesuai nomor SK Bupati dan tanggal pencabutannya
masing-masing. Selain itu juga, memerintahkan kepada tergugat untuk mencabut SK
Bupati Kupang tentang Pencabutan SK Bupati Kupang terkait dengan perpanjangan
batas usia pensiun bagi pejabat struktural eselon II di lingkup Kabupaten
Kupang. Bahkan putusan PTUN Kupang juga memerintahkan kepada tergugat untuk
melakukan rehabilitasi nama baik serta mengembalikan kedudukan para penggugat
pada jabatannya atau jabatan setingkatnya.
Pada prinsipnya dapat dikatakan
bahwa, sang anak dan sang induk menghadapi persoalan gugatan yang sama. Bahkan
pemimpin sang anak dan sang induk sama-sama kalah dalam putusan PTUN Kupang
dengan perintah hukum yang sama untuk segera dilakukan. Dimana pemimpin sang
anak dan sang induk diperintahkan untuk membatalkan dan pencabutan surat
keputusan, serta memerintahkan kepada tergugat untuk melakukan rehabilitasi
nama baik serta mengembalikan kedudukan para penggugat pada jabatannya atau
jabatan setingkatnya.
Sekalipun sama dalam menghadapi
persoalan di PTUN Kupang, tetapi sang anak dan sang induk berbeda secara
prinsip dalam menanggapi putusan mejelis hakim PTUN Kupang tersebut. Pemimpin
sang anak dengan lapang dada dan berbesar hati menerima putusan itu tanpa
banding. Sedangkan pemimpin sang induk dengan berbusung dada dan kecil hati
menerima putusan itu dengan banding.
Perbedaan
sikap tersebut terekam jelas dalam pemberitaan media massa. Misalnya, Walikota
Kupang, Drs. Daniel Adoe dalam Harian Kota KURSOR Kamis, 13 Agustus 2009
halaman empat mengatakan bahwa ”saya tidak banding atas kekalahan itu dan harus
menerimanya dengan besar hati atau lapang dada”. Dilain pihak, pemimpin sang
induk menyatakan banding atas putusan PTUN Kupang terkait dengan gugatan yang
dihadapi.
Ya,
setiap orang memang memiliki hak dan peluang yang dilindungi oleh hukum dalam
menyikapi putusan PTUN tersebut. Dalam konteks ini sangat tergantung dari
keterpanggilan wibawa masing-masing pemimpin dalam merespon putusan.
Mengapa Anak dan Induk Beda?
Judul kecil ini bisa jadi pertanyaan bersama bagi
kita. Ada banyak cara dan dasar untuk menjawab pertanyaan ini. Seandainya kalau
anak dan induk tersebut adalah tumbuhan, hewan atau manusia tentunya dapat
dilakukan analisa cermat di laboratorium yang super canggih untuk mengetahui
faktor-faktor genetik, karena pada prinsipnya harus sama. Namun yang dimaksud
saat ini adalah dua daerah otonom yang pada mulanya adalah satu.
Kalau begitu, mengapa anak dan induk beda? Tentunya akan bisa berbeda dan sejatinya
memang beda. Kalau seandainya sama secara mutlak, tidak mungkin terjadi
pemekaran daerah otonom.
Banyak faktor yang menyebakan anak dan induk dalam
konteks ini berbeda. Bisa saja terkait dengan dinamika pemerintahan daerah yang
berbeda, bisa juga karakter kepemimpinan yang berbeda.
Mungkin relasi antara staf dan atasan di wilayah
Kota Kupang lebih baik daripada Kabupaten Kupang. Hal ini bisa disebabkan karena
dinamika politik semasa suksesi yang mengangkat para pemimpin tersebut telah
dieliminir secara baik di Kota Kupang. Sedangkan di Kabupaten Kupang belum
maksimal, sehingga yang terjadi adalah saling curiga dan balas dendam.
Bisa juga disebabkan karena berbeda cara pandang
terhadap gugatan bawahan kepada atasan. Mungkin gugatan bawahan kepada atasan
di Kota Kupang dilihat sebagai hak bawahan untuk mencari keadilan. Sedangkan di
Kabupaten Kupang di anggap sebagai upaya perlawanan terhadap atasan. Apalagi
secara hukum ada peluang dan tahapan yang harus ditempuh oleh setiap orang.
Atau bisa juga beban persoalan yang dihadapi oleh
kedua pemimpin tersebut berbeda. Di Kota Kupang sejatinya dinamika pembangunan
sementara berjalan normal dan dalam upaya menjawab sejumlah kebutuhan dasar
dari masyarakat. Sementara di Kabupaten Kupang dinamika pembangunannya belum
berjalan normal karena pemimpin sang induk belum setahun masa jabatannya tetapi
sudah menghadapi sejumlah persoalan krusial. Misalnya gugatan di PTUN Kupang,
proses pemekaran daerah otonom baru yaitu Kabupaten Sabu Raijua, sampai pada
persoalan mutasi 170 PNS Kabupaten Kupang ke Kabupaten Sabu Raijua yang sangat
menguras tenaga dan pikiran bupati.
Mungkin juga perbedaan karakter kepempinan bisa disebabkan
oleh lingkungan politik di sekitar pemimpin sang anak dan sang induk yang lebih
mengutamakan pada kepentingan kelompok tertentu daripada kepentingan masyarakat.
Tapi, sudahlah, karena
memang harus disadari bahwa setiap pemimpin memiliki karakter yang berbeda dalam
memimpin. Selain itu juga memiliki cara pandang yang berbeda dalam menanggapi
atau menyikapi sesuatu.
Jadi memang harus berbeda, dalam
konteks daerah otonom sejatinya akan berbeda satu daerah dengan daerah lainnya.
Tak peduli daerah induk atau daerah pemekaran. Namun yang menjadi bahan
refleksi bersama adalah jangan kita melihat perbedaan dalam konteks ini (Kota
Kupang-Sang Anak dengan Kabupaten Kupang-Sang Induk) disebakan karena latar
pendidikan atau etnis dari sang pemimpin. Karena siapapun yang menjadi pemimpin
tentunya akan menghadapi sebuah dinamika yang berbeda. Mungkin perlu ruang
koordinasi atau sharring pengalaman yang lebih intens antara pemimpin sang anak
dan sang induk untuk waktu yang akan datang.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar